Jumat, 30 Oktober 2015

Musik Danglung, Kearifan Lokal yang menjadi Identitas Lumajang

Makna kata "Pandhalungan" yang diberikan oleh Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra Jawa-Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pandalungan berasal dari dasar bahasa jawa dhalung yang berarti "periuk besar". Dalam Konsep Simbolik Periuk besar bisa didefinisikan sebagai tempat bertemunya beramacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebudayaan kemudian saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang disebut pandhalungan. 


 Terbentuknya Pandhalungan menimbulkan kesenian yang berkulturasi sehingga dinamakan juga dengan musik danglung . Musik danglung berkembang di lumajang setelah migrasinya suku madura yang berakulturasi dengan suku jawa di lumajang. sehingga terdapat perpaduan gending jawa dan madura antara lain Gong, Kenong Telok, Kendang, Sronen, kenthongan dan percampuran kesenian seperti saron, rebana, dan jidor. alat musik danglung berirama rancak dan biasanya mengiringi tari glipang, tari topeng kaliwungu, tari jaran slining, dan kesenian jaran kencak. 

Musik danglung juga pernah di mainkan pada kegiatan Internassional sekelas BEDOG ART FESTIVAL yang diselenggarakan di Jogja yang dibawakan oleh CIO INDONESIA dan meraih The Best Performance, penampilan danglung kala itu memukau tamu dari mancanegara seperti Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Sukses terus Danglung Lumajang! Salam Lestari!



Senin, 26 Oktober 2015

Sejarah : Lumajang Kota Kuno yang Terlupakan

Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".

PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.

Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA

Kabupaten ini memiliki ibukota yang sama dengan namanya, Lumajang. Berbatasan langsung dengan kabupaten Probolinggo di utara, kabupaten Jember di Timur, Samudera Hindia di selatan dan kabupaten Malang di barat.

Diindikasikan, nama Lumajang berasal dari kata Lamajang, yang merupakan sebuah negara di tahun 1255 M. Negara Lamajang memiliki wilayah, raja, pemimpin daerah, pemerintahan yang teratur dan semua bukti terarah pada Prasasti Mula Malurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975. Karena hal itu pula, hari jadi Lumajang ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1255 M. 

Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain : 
1. Prasasti Mula Malurung
2. Naskah Negara Kertagama
3. Kitab Pararaton
4. Kidung Harsa Wijaya
5. Kitab Pujangga Manik
6. Serat Babat Tanah Jawi
7. Serat Kanda

Dengan luas 1790,90 Km2, kabupaten Lumajang merupakan dataran yang subur karena diapit oleh keberadaan 3 gunung, yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Lamongan. Selain itu, Kabupaten penghasil pisang terbanyak ini juga merupakan salah satu kabupaten yang terletak di kawasan Tapal Kuda; di bagian barat laut kabupaten ini berbatasan dengan serangkaian pegunungan seperti Bromo-Tengger-Semeru, gunung-gunung yang terkenal di Jawa Timur. Selain itu kondisi ini juga memberikan Anugerah berupa danau/Ranu yang cukup banyak di Kabupaten Lumajang. 

Dari keadaan alam yang tersebut di atas, bisa dipastikan banyak potensi wisata yang bisa temukan di kabupaten yang banyak didominasi suku Jawa dan Madura ini dan disebut etnik pendalungan. 

Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.

1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR   ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2008 - 2013 )
13. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2013 - 2018 )

Lumajang Kota Kuno Yang Terlupakan


Lumajang adalah sebuah kota kecil yang terletak disebelah timur kaki gunung Semeru di propinsi Jawa Timur. Lumajang dapat di tempuh dalam waktu sekitar 4 jam dari Surabaya ke arah selatan. Secara astronomis wilayah Lumajang terletak pada 112 53-113 23’ Bujur Timur dan 7 54’-8 23’. Secara geografis wilayah Lumajang dikelilingi oleh pegunungan vulkanik dengan puncak-puncaknya berupa gunung api aktif. Di sebelah barat ada gunung Semeru yang merupakan gunung berapi aktif dan juga gunung tertinggi di pulau Jawa. Disebelah utara ada pegunungan Tengger, Bromo yang juga merupakan gunung berapi aktif. Dan juga gunung Lamongan. Letak Lumajang yang di apit oleh pegunungan menyebabkan wilayah Lumajang mempunyai lahan yang subur. Menurut Fisiografi Pannekoek (1949) wilayah Lumajang bagian utara dimana terdapat gunung Semeru, pegunungan Tengger, gunung Lamongan merupakan zona vulkanik tengah sedangkan bagian selatan yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia merupaka zona plato yang membentang mulai dari pantai popoh, Blitar selatan, Malang selatan, Lumajang selatan

Berdasarkan beberapa penemuan arkeologis yang berupa penemuan manik-manik, beberapa watu lumpang, punden berundak dan menhir menunjukan bahwa wilayah Lumajang sudah dihuni oleh manusia prasejarah, walaupun sampai saat ini belum ditemukan fosil manusia purba. Pada masa selanjutnya yaitu masa Hindu-Budha Lumajang juga disebut-sebut dalam beberapa sumber sejarah yaitu dalam kitab Pararaton, Negarakertagama, Kidung Harsa Wijaya, Bujangga Manik, Serat Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Selain data tekstual di wilayah Lumajang juga ditemukan beberapa prasasti yaitu, prasasti Ranu Gembolo yang dibuat pada masa pemerintahan Kameswara raja Kadhiri, prasasti Pasrujambe. Prasasti Mula Malurung yang ditemukan di Kediri menyebutkan nama Lumajang dan juga disebutkan bahwa yang menjadi juru (pelindung) di Lamajang adalah Nararyya Kirana. Nararyya Kirana sendiri merupakan putra dari Nararyya Seminingrat (Wisnuwardhana) raja Singhasari. Prasasti ini berangka tahun 1177 Saka atau 1255 M, merupakan data tertulis tertua yang menyebutkan nama Lamajang. Prasasti Mula Malurung menjadi tonggak dasar penetapan hari jadi Kabupaten Lumajang.

Pada masa Majapahit, nama Lamajang mulai muncul lagi terkait dengan pemberian tanah hadiah oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja atas jasa-jasanya telah membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Janji Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja diceritakan dalam kidung Panji Wijayakrama yang dikutip oleh Slamet Mulyana (2006:122) bahwa Raden Wijaya secara jujur berjanji kepada Wiraraja, jika kelak Kabul maksudnya, dapat menguasai pulau Jawa, sebagai tanda terima kasih, kerajaan akan dibagi menjadi dua antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, dimana Arya Wiraraja mendapatkan Lamajang Tigang juru meliputi Lamajang, Panarukan, dan Blambangan (Rangkuti,2003:27).

Sesudah Arya Wiraraja meninggal, yang menguasai Lamajang adalah Mpu Nambi. Kekuasaan Mpu Nambi di Lamajang tidak bertahan lama di karenakan serangan oleh Majapahit dibawah pemerintahan Jayanegara. Serangan Majapahit tersebut berhasil memporak-porandakan Lamajang bahkan pertahanan Mpu Nambi di Pajarakan juga ikut hancur. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Lamajang dikunjungi dalam rangka kunjungan kenegaraan. Hal itu tercatat dalam naskah Nagarakrtagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, yang menyebutkan beberapa nama tempat di Lamajang yang disinggahi oleh Hayam Wuruk antara lain, Padhali (Ranubedali), Arenon (Kutorenon), Panggulan, Payaman, Rembang (Tempeh), Kamirahan, Kunir. Menurut Gunadi (1990) ada 8 kota kuno di Lumajang yaitu, Kertosari, Lumajang, Pajarakan, Kandangan, Kunir, Kutorenon, Kertowono dan Pasrujambe.
Dalam pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.
Lumajang pada masa Islam juga selalu menjadi incaran kerajaan-kerajaan Islam yaitu Demak dan Mataram. Secara geografis Lumajang memang harus di taklukan terlebih dahulu untuk menguasai daerah tetangganya yaitu Blambangan. Sultan Agung dari Mataram melakukan hal tersebut, sebelum melakukan penyerangan ke Blambangan, pasukan Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Alap-alap menaklukan Lumajang. Pada saat penyerangan Mataram ke Blambangan, Lumajang menjadi pos penyerangan.
Alun-Alun Lumajang 1925
Ketika Nusantara berada dibawah pengaruh VOC, Lumajang juga dikuasai oleh VOC. Pada waktu itu status Lumajang adalah kepatihan. Sedangkan pada masa Hindia Belanda, berdasarkan statblat no 319/1927 Lumajang bagian dari kabupaten Probolinggo. Lumajang terdiri dari 4 distrik, yaitu distrik Yosowilangun, Lumajang (kota), Klakah, Pasirian. Pada tahun 1928 Lumajang menjadi kabupaten sendiri, hal itu berdasarkan statblat no 319/1928 Lumajang dari kepatihan berubah menjadi Regensh atau kabupaten.

Lumajang merupakan kota yang telah ada sejak masa Kadhiri, Singhasari, Majapahit, Islam, Kolonial, bahkan pada masa Jepang dan sesudah kemerdekaan Lumajang juga menunjukan eksistensinya. Melihat dari perjalanan Lumajang yang begitu lama, membuktikan bahwa Lumajang pantas disebut sebagai kota tua yang tetap eksis setelah Tuban. Akan tetapi kota kuno yang telah mengalami sejarah panjang sekarang masih tertidur, sejarah masa lalunya kurang mendapatkan perhatian. Bahkan perkembangan kotanya saat ini terasa lambat bila dibandingkan dengan tetangga kabupatenya yaitu Malang, Jember, dan Probolinggo. LUMAJANG AYOLAH BANGKIT, ULANGI KEJAYAAN MASA LALU. Sumber: Kompasiana.com

Kamis, 22 Oktober 2015

Situs Biting, Benteng Terbesar di Era Majapahit


SALAH satu peninggalan Kerajaan Lamajang Tigang Juru adalah Situs Biting. Situs tersebut berbentuk sebuah benteng yang mengelilingi kerajaan yang dipimpin oleh Aria Wiraraja.

Situs Biting ini berada di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Situs ini mengelilingi pusat kota Kerajaaan Lamajang Tigang Juru. 

Beberapa areal Situs Biting saat ini berdiri di lahan milik warga dan Perhutani. Bahkan, ketika menggali tempat yang diduga mejadi pintu utama Benteng berada di perumahan milik warga. Situs kuno Kerajaan Lumajang ini terancam rusak. Karena beberapa lahan digunakan oleh pengembang sebagai perumahan. Jarak antara bangunan perumahan dengan situs kerajaan bersejarah ini hanya 40 meter

Di Benteng Biting ini terdapat lima Pangungakan atau yang bisa disebut sebagai tempat untuk mengintai musuh di luar benteng. Pangungakan ini berada di Gerbang Utama, dinding benteng sebelah Barat dan Timur kemudian Utara dan Selatan.

Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.

Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh.


Kaitan Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit



Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, maka Adipati Arya Wiraraja yang saat itu menjabat sebagai adipati di Madura memberikan bantuan kepada Raden Wijaya guna merebut kembali haknya yang saat itu tengah digenggam Raja Jayakatwang asal Kerajaan Kediri yang belum lama memberontak dan menewaskan mertua Raden Wijaya yaitu Raja Kertanegara yang memimpin Kerajaan Singosari.


Pada kesepakatan itu termuan adanya pembagian kekuasaan bila Raden Wijaya berhasil merebut kebali kekuasaan sebagai Raja. Dalam kesepakatan dituangkan bahwa "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep".

Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden Wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.

Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Lembu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.


Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi Raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I.

Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.

Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaitu Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan Patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.

Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada Tahun 1331 Masehi.

*Diolah dari berbagai sumber



Selasa, 20 Oktober 2015

OPEN SELECTION 2015

Untuk Informasi lebih lanjut bisa dilihat di form pendaftaran, bisa di unduh di menu "Pemilihan" atau menghubungi nomor yang tertera di dalam brosur

Brosur Pemilihan Duta Wisata Cacak & Yuk 2015




Senin, 19 Oktober 2015

Duta Wisata Cacak & Yuk Lumajang Road To Selection 2015

Salam Budaya dan Salam Pariwisata!.
Pada tahun ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lumajang kembali menggelar acara tahunan Pemilihan Duta Wisata Cacak & Yuk Lumajang 2015. Berbagai persiapan penyelenggaraan telah rampung dan tinggal menunggu waktu dimulainya pendaftaran. Kamukah The Next Cacak dan Yuk Lumajang?. atau kamukah pemuda pilihan Kabupaten Lumajang yang akan mengemban tugas selama setahun kedepan?.


Pemilihan duta wisata bukanlah ajang untuk mencari popularitas, tetapi merupakan ajang untuk menjadi seseorang yang memiliki komitmen, mampu berkorban dan bertanggung jawab dengan tugas-tugas yang nanti akan diemban selama setahun kedepan. Tugas utama jelas mempromosikan kabupaten Lumajang, dan menjadi ikon Pariwisata, Seni, dan Budaya di Tanah Aryawiraraja ini. Sebagai seorang duta wisata sudah tentu wajib memahami dan mengenal dengan baik Lumajang.

Seorang Duta Wisata juga membutuhkan suatu bentuk kepribadian baik yang dibutuhkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas. Beberapa kepribadian yang diperlukan sebagai seorang Duta Wisata di antaranya:


Ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan akan membuat orang lain merasa aman dan dihargai. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, mencari-cari alasan, atau memutar-balikkan fakta.


Kerendahan Hati

Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendahan hati justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Bagaikan sebatang padi semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain.


Kesetiaan

Kesetiaan sudah menjadi barang langka dan sangat tinggi harganya. Orang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban, dan tidak suka berkhianat.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan, kalau dia merasa kecewa atau sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapa pun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apa pun yang dialami dan dirasakannya.


Percaya Diri

Rasa percaya diri memungkinkan sesesorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya, dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia, tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.


Empati

Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik, tapi bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik, dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Sudah siapkah dirimu menjadi Duta Wisata dan bergabung bersama kami di Keluarga besar Paguyuban Cacak & Yuk Lumajang?. Siapkan dirimu, tunjukan bakatmu, dan jadilah yang terbaik!. Buktikan bahwa kamu layak menjadi Duta Wisata Cacak & Yuk Lumajang 2015

COMING SOON........WAIT AND SEE.....

Kamis, 15 Oktober 2015

Kamu Harus Tau: Filosofi Tari Topeng Kaliwungu

Tari Topeng Kaliwungu khas Lumajang, keberadaannya jarang diketahui oleh masyarakat Lumajang. Jangankan untuk penampilannya sebagai tari topeng khas Lumajang, nama tari topeng khas Kaliwungu yang merupakan tarian asli dari Lumajang pun tidak banyak di ketahui oleh masyarakat Lumajang pada umumnya.

Tarian Topeng Kaliwungu yang muncul puluhan tahun yang lalu merupakan adopsi dari tari Topeng Getak Madura. Walaupun di adopsi dari tari khas Madura, Alm. Senemo sang Maestro tari topeng Kaliwungu mengkreasikan dengan kebudayaan local Lumajang. 
Gerakan Tarian ini menggambaran perpindahan Arya Wiraraja raja Lumajang dari Sumenep ke Lamajang, Gerakan yang tegas khas madura kemudian juga ada gerakan-gerakan yang lembut khas jawa dengan diiringi music kenong telok . Di Desa Kaliwungu Kecamatan Tempeh inilah yang nota bene sebagian besar tinggal suku Madura, seni Tari Topeng Khas Kaliwungu masih dipertahankan dan dilestarikan hingga saat ini.
Mbah Nemo semasa masih hidup menceritakan filosofi dari tari Topeng Kaliwungu ini," Sejahat-jahatnya manusia pasti dia punya sisi kelembutan dan kebaikan”, itu merupakan nilai filosofi yang ada pada Tari Topeng Kaliwungu .
Ini Lumajang punya, Kenali, cintai dan mari kita pertahankan dan kita lestarikan, Jika bukan kita siapa lagi. Salam.
 
Copyright © 2014 Cacak & Yuk Lumajang