Senin, 26 Oktober 2015

Sejarah : Lumajang Kota Kuno yang Terlupakan

Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".

PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.

Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA

Kabupaten ini memiliki ibukota yang sama dengan namanya, Lumajang. Berbatasan langsung dengan kabupaten Probolinggo di utara, kabupaten Jember di Timur, Samudera Hindia di selatan dan kabupaten Malang di barat.

Diindikasikan, nama Lumajang berasal dari kata Lamajang, yang merupakan sebuah negara di tahun 1255 M. Negara Lamajang memiliki wilayah, raja, pemimpin daerah, pemerintahan yang teratur dan semua bukti terarah pada Prasasti Mula Malurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975. Karena hal itu pula, hari jadi Lumajang ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1255 M. 

Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain : 
1. Prasasti Mula Malurung
2. Naskah Negara Kertagama
3. Kitab Pararaton
4. Kidung Harsa Wijaya
5. Kitab Pujangga Manik
6. Serat Babat Tanah Jawi
7. Serat Kanda

Dengan luas 1790,90 Km2, kabupaten Lumajang merupakan dataran yang subur karena diapit oleh keberadaan 3 gunung, yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Lamongan. Selain itu, Kabupaten penghasil pisang terbanyak ini juga merupakan salah satu kabupaten yang terletak di kawasan Tapal Kuda; di bagian barat laut kabupaten ini berbatasan dengan serangkaian pegunungan seperti Bromo-Tengger-Semeru, gunung-gunung yang terkenal di Jawa Timur. Selain itu kondisi ini juga memberikan Anugerah berupa danau/Ranu yang cukup banyak di Kabupaten Lumajang. 

Dari keadaan alam yang tersebut di atas, bisa dipastikan banyak potensi wisata yang bisa temukan di kabupaten yang banyak didominasi suku Jawa dan Madura ini dan disebut etnik pendalungan. 

Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.

1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR   ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2008 - 2013 )
13. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT, MAg ( 2013 - 2018 )

Lumajang Kota Kuno Yang Terlupakan


Lumajang adalah sebuah kota kecil yang terletak disebelah timur kaki gunung Semeru di propinsi Jawa Timur. Lumajang dapat di tempuh dalam waktu sekitar 4 jam dari Surabaya ke arah selatan. Secara astronomis wilayah Lumajang terletak pada 112 53-113 23’ Bujur Timur dan 7 54’-8 23’. Secara geografis wilayah Lumajang dikelilingi oleh pegunungan vulkanik dengan puncak-puncaknya berupa gunung api aktif. Di sebelah barat ada gunung Semeru yang merupakan gunung berapi aktif dan juga gunung tertinggi di pulau Jawa. Disebelah utara ada pegunungan Tengger, Bromo yang juga merupakan gunung berapi aktif. Dan juga gunung Lamongan. Letak Lumajang yang di apit oleh pegunungan menyebabkan wilayah Lumajang mempunyai lahan yang subur. Menurut Fisiografi Pannekoek (1949) wilayah Lumajang bagian utara dimana terdapat gunung Semeru, pegunungan Tengger, gunung Lamongan merupakan zona vulkanik tengah sedangkan bagian selatan yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia merupaka zona plato yang membentang mulai dari pantai popoh, Blitar selatan, Malang selatan, Lumajang selatan

Berdasarkan beberapa penemuan arkeologis yang berupa penemuan manik-manik, beberapa watu lumpang, punden berundak dan menhir menunjukan bahwa wilayah Lumajang sudah dihuni oleh manusia prasejarah, walaupun sampai saat ini belum ditemukan fosil manusia purba. Pada masa selanjutnya yaitu masa Hindu-Budha Lumajang juga disebut-sebut dalam beberapa sumber sejarah yaitu dalam kitab Pararaton, Negarakertagama, Kidung Harsa Wijaya, Bujangga Manik, Serat Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Selain data tekstual di wilayah Lumajang juga ditemukan beberapa prasasti yaitu, prasasti Ranu Gembolo yang dibuat pada masa pemerintahan Kameswara raja Kadhiri, prasasti Pasrujambe. Prasasti Mula Malurung yang ditemukan di Kediri menyebutkan nama Lumajang dan juga disebutkan bahwa yang menjadi juru (pelindung) di Lamajang adalah Nararyya Kirana. Nararyya Kirana sendiri merupakan putra dari Nararyya Seminingrat (Wisnuwardhana) raja Singhasari. Prasasti ini berangka tahun 1177 Saka atau 1255 M, merupakan data tertulis tertua yang menyebutkan nama Lamajang. Prasasti Mula Malurung menjadi tonggak dasar penetapan hari jadi Kabupaten Lumajang.

Pada masa Majapahit, nama Lamajang mulai muncul lagi terkait dengan pemberian tanah hadiah oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja atas jasa-jasanya telah membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Janji Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja diceritakan dalam kidung Panji Wijayakrama yang dikutip oleh Slamet Mulyana (2006:122) bahwa Raden Wijaya secara jujur berjanji kepada Wiraraja, jika kelak Kabul maksudnya, dapat menguasai pulau Jawa, sebagai tanda terima kasih, kerajaan akan dibagi menjadi dua antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, dimana Arya Wiraraja mendapatkan Lamajang Tigang juru meliputi Lamajang, Panarukan, dan Blambangan (Rangkuti,2003:27).

Sesudah Arya Wiraraja meninggal, yang menguasai Lamajang adalah Mpu Nambi. Kekuasaan Mpu Nambi di Lamajang tidak bertahan lama di karenakan serangan oleh Majapahit dibawah pemerintahan Jayanegara. Serangan Majapahit tersebut berhasil memporak-porandakan Lamajang bahkan pertahanan Mpu Nambi di Pajarakan juga ikut hancur. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Lamajang dikunjungi dalam rangka kunjungan kenegaraan. Hal itu tercatat dalam naskah Nagarakrtagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, yang menyebutkan beberapa nama tempat di Lamajang yang disinggahi oleh Hayam Wuruk antara lain, Padhali (Ranubedali), Arenon (Kutorenon), Panggulan, Payaman, Rembang (Tempeh), Kamirahan, Kunir. Menurut Gunadi (1990) ada 8 kota kuno di Lumajang yaitu, Kertosari, Lumajang, Pajarakan, Kandangan, Kunir, Kutorenon, Kertowono dan Pasrujambe.
Dalam pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.
Lumajang pada masa Islam juga selalu menjadi incaran kerajaan-kerajaan Islam yaitu Demak dan Mataram. Secara geografis Lumajang memang harus di taklukan terlebih dahulu untuk menguasai daerah tetangganya yaitu Blambangan. Sultan Agung dari Mataram melakukan hal tersebut, sebelum melakukan penyerangan ke Blambangan, pasukan Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Alap-alap menaklukan Lumajang. Pada saat penyerangan Mataram ke Blambangan, Lumajang menjadi pos penyerangan.
Alun-Alun Lumajang 1925
Ketika Nusantara berada dibawah pengaruh VOC, Lumajang juga dikuasai oleh VOC. Pada waktu itu status Lumajang adalah kepatihan. Sedangkan pada masa Hindia Belanda, berdasarkan statblat no 319/1927 Lumajang bagian dari kabupaten Probolinggo. Lumajang terdiri dari 4 distrik, yaitu distrik Yosowilangun, Lumajang (kota), Klakah, Pasirian. Pada tahun 1928 Lumajang menjadi kabupaten sendiri, hal itu berdasarkan statblat no 319/1928 Lumajang dari kepatihan berubah menjadi Regensh atau kabupaten.

Lumajang merupakan kota yang telah ada sejak masa Kadhiri, Singhasari, Majapahit, Islam, Kolonial, bahkan pada masa Jepang dan sesudah kemerdekaan Lumajang juga menunjukan eksistensinya. Melihat dari perjalanan Lumajang yang begitu lama, membuktikan bahwa Lumajang pantas disebut sebagai kota tua yang tetap eksis setelah Tuban. Akan tetapi kota kuno yang telah mengalami sejarah panjang sekarang masih tertidur, sejarah masa lalunya kurang mendapatkan perhatian. Bahkan perkembangan kotanya saat ini terasa lambat bila dibandingkan dengan tetangga kabupatenya yaitu Malang, Jember, dan Probolinggo. LUMAJANG AYOLAH BANGKIT, ULANGI KEJAYAAN MASA LALU. Sumber: Kompasiana.com

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Cacak & Yuk Lumajang